Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan busuk atau jahat yang sangat keji
dan tidak berperikemanusiaan. Oleh sebab itu dilarang oleh negara manapun juga
dimuka bumi ini, karena dampaknya dapat merusak seluruh sendi-sendi tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bermuara pada terpuruknya
suatu negara ke dalam jurang kemiskinan dan kehancuran.
Sesungguhnya
Pelaku praktek Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh oknum
antar penyelanggara negara melainkan juga antar penyelenggara dengan pihak lain
yang membutuhkan pelayanan dan atau fasilitas dari penyelenggara negara,
seperti : oknum pejabat negara pada lembaga tertinggi dan tinggi negara,
menteri, gubernur, hakim, dan pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan oknum para pengusaha, famili,
teman dan atau dengan para pelaku
kejahatan/pelanggaran hukum, sehingga praktek keji ini sulit diberantas.
Propinsi Sumatera
Selatan merupakan bagian integral dari Negara kesatuan, penyelenggara Negara
memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan cita cita perjuangan
bangsa, sebagaimana yang di amanatkan dalam Undang-Undang Dsar 1945. Oleh sebab
itu di perlukan persamaan visi, persepsi danmisi dari seluruh penyelenggara
Negara dan masyarakat sehingga sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang
menghendaki terwujudnya penyelenggara Negara yang mampu menjalankan tugas dan
fugsinya secara bersungguh sungguh, bertanggung jawab dan dilaksanakan secara
efektif, efisien, bebas dari Korupsi, Koluisi dan Nepotisme.
Genderang perang
terhadap tindak pidana korupsi ditabuh oleh mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sejak awal kepemimpinannya. Sayangnya, upaya tersebut masih
belum dapat sepenuhnya menghilangkan tindak pidana tersebut dalam tata kelola
pemerintahan di pelbagai level. Mengacu data Transparency International
Indonesia, masalah korupsi yang tidak teratasi dengan baik menempatkan
Indonesia di peringkat 100 dari 183 negara pada 2011 dalam Indeks Persepsi
Korupsi. Selama ini proses pemberantasan korupsi di
Indonesia seperti jalan di tempat. Survei Transparency International
menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 1996 adalah 2,6.
Faktanya, IPK Indonesia pada tahun 2011 menjadi 3,0. Artinya, dalam tempo 15
tahun, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya bergerak 0,4. Ini sekali lagi
menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mengacu pada data Kemeterian Dalam Negeri, persoalan korupsi di pemerintahan
daerah pun tak kalah banyak. Sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD
Tingkat Propinsi dan DPRD Tingkat Kabupaten yang terlibat kasus pidana korupsi.
Serangkaian amunisi (cara) dan berbagai hukuman dari peraturan yang telah
diberlakukan, ternyata belum berdampak signifikan terhadap pemberantasan
tindakan koruptif yang seakan semakin menjamur. Terbukti ketika Indonesia
dinobatkan sebagai negara terkorup, dari 16 negara Se Asia Pasifik tahun 2010 (sumber:
Political & Economic Risk Consultancy -PERC-). Pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia telah menembus batasan diberbagai konsentrasi sektor
pembangunan. Karena perlu disadari, bahwa permasalahan Korupsi merupakan
permasalahan yang multidimensional, artinya dampak dari permasalahan ini, akan
mempengaruhi seluruh lini kehidupan bernegara.
Banyak hal yang menjadi penyebab tingginya angka korupsi di Indonesia.
Salah satu penyebab yang umum diketahui dan menjadi penyebab dominan adalah
karena bangsa Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh berperang melawan korupsi.
Pandangan pendidikan yang lebih mengutamakan aspek kognitif yang dinilai
melalui capaian nilai dalam bentuk angka-angka, diduga menjadi salah satu
persoalan mendasar. Dunia pendidikan indonesia tidak bisa memberikan pendidikan
moral yang memadai untuk mencegah tindak pidana korupsi yang merugikan banyak
pihak ini. Indonesia hanya membangun industri dan pabrik-pabrik yang
menghasilkan barang-barang konsumsi, tetapi sangat kurang membangun industri
hati untuk mendapatkan manusia dengan kekayaan spiritual guna merawat bangsa.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sudah kasus-kasus korupsi yang
dibongkar oleh penegak hukum. Sejak 5 tahun terakhir pula sekitar 500 pejabat
publik dari pegawai rendahan hingga pejabat eselon 1, mantan menteri, menteri
aktif dan anggota DPR kini berdesakan di dalam bui. Namun demikian sesungguhnya
belum menyelesaikan persoalan-persoalan pemberantasan korupsi. Kita masih
menyangsikan keseriusan bangsa ini untuk memberantas korupsi secara
sungguh-sungguh. Mengapa? Pertama, kesan tebang pilih dalam pemberantasan
korupsi masih sangat terasa. Kedua,
masih saja ada aparat hukum yang terindikasi bahkan tertangkap basah tengah
melakukan praktek korupsi. Ketiga, sangat terasa adanya pelemahan peran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Betapapun memiliki beberapa kelemahan, lembaga ini
terbukti telah menjadi institusi yang ditakuti dan disegani para pelaku
korupsi. Rupanya kekuatan lawan risih melihat kinerja KPK, dan terjadilah
proses pelemahan; dari penangkapan Ketua KPK, ancaman penangkapan pimpinan KPK
lainnya, lambatnya penyusunan Undang-Undang Tipikor, revisi UU KPK, pernyataan
minor dari para pimpinan negara, anggota DPR, dan sebagainya.Pendek kata, masih
panjang jalan menuju bangsa Indonesia yang bebas korupsi. Masih dibutuhkan
kekuatan yang ekstra untuk melawan korupsi di negeri ini.
Oleh sebab itu, peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan hak dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan sebagaimana yang di atur dalam dalam TAP MPR No. No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggra Negara Yang Bersih
Dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, junto pasal 8 dan 9 Undang Undang RI
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggra Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN junto
pasal 41 Undang Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang pelaksanaanya di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Sejalan dengan hal itu Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi (GN-PK), yang di
deklarasikan pada tanggal 23 Agustus 2004 di Jakarta yang kemudian menjadi
motivasi dalam melahirkan
pencanangan tahun 2005 sebagai tanda di mulainya GERAKAN NASIONAL
PEMBERANTASAN TINDAK PIDAN KORUPSI oleh Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 9 Desember
2004 di Istana Negara. Atas alasan
tersebut Pimpinan GN-PK Pusat mengamantkan kepada Koordinator Propinsi GN-PK di
tiap daerah untuk segera melaksanakan program program kerja yang telah di buat
oleh GN-PK Pusat, salah satunya adalah memperbesar dan menekankan porsi program
pencegahan melalui berbagai kegiatan agar mampu menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan masyarakat menolak dengan tegas berbagai tindak
korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga dapat mempercepat proses pembangunan
nasional dan watak bangsa (Nation and character Buliding) Seperti diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945 serta pancasila.
0 komentar:
Posting Komentar