Rabu, 06 April 2016

Agenda Pemberantasan Korupsi dan kelahiran GN-PK




Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan busuk atau jahat yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Oleh sebab itu dilarang oleh negara manapun juga dimuka bumi ini, karena dampaknya dapat merusak seluruh sendi-sendi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bermuara pada terpuruknya suatu negara ke dalam jurang kemiskinan dan kehancuran.
Sesungguhnya Pelaku praktek Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh oknum antar penyelanggara negara melainkan juga antar penyelenggara dengan pihak lain yang membutuhkan pelayanan dan atau fasilitas dari penyelenggara negara, seperti : oknum pejabat negara pada lembaga tertinggi dan tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, dan pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan oknum para pengusaha, famili, teman dan atau dengan para  pelaku kejahatan/pelanggaran hukum, sehingga praktek keji ini  sulit diberantas.
Propinsi Sumatera Selatan merupakan bagian integral dari Negara kesatuan, penyelenggara Negara memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan cita cita perjuangan bangsa, sebagaimana yang di amanatkan dalam Undang-Undang Dsar 1945. Oleh sebab itu di perlukan persamaan visi, persepsi danmisi dari seluruh penyelenggara Negara dan masyarakat sehingga sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggara Negara yang mampu menjalankan tugas dan fugsinya secara bersungguh sungguh, bertanggung jawab dan dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari Korupsi, Koluisi dan Nepotisme.
Genderang perang terhadap tindak pidana korupsi ditabuh oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal kepemimpinannya. Sayangnya, upaya tersebut masih belum dapat sepenuhnya menghilangkan tindak pidana tersebut dalam tata kelola pemerintahan di pelbagai level. Mengacu data Transparency International Indonesia, masalah korupsi yang tidak teratasi dengan baik menempatkan Indonesia di peringkat 100 dari 183 negara pada 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Selama ini proses pemberantasan korupsi di Indonesia seperti jalan di tempat. Survei Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 1996 adalah 2,6. Faktanya, IPK Indonesia pada tahun 2011 menjadi 3,0. Artinya, dalam tempo 15 tahun, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya bergerak 0,4. Ini sekali lagi menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Mengacu pada data Kemeterian Dalam Negeri, persoalan korupsi di pemerintahan daerah pun tak kalah banyak. Sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat Propinsi dan DPRD Tingkat Kabupaten yang terlibat kasus pidana korupsi.
Serangkaian amunisi (cara) dan berbagai hukuman dari peraturan yang telah diberlakukan, ternyata belum berdampak signifikan terhadap pemberantasan tindakan koruptif yang seakan semakin menjamur. Terbukti ketika Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup, dari 16 negara Se Asia Pasifik tahun 2010 (sumber: Political & Economic Risk Consultancy -PERC-). Pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia telah menembus batasan diberbagai konsentrasi sektor pembangunan. Karena perlu disadari, bahwa permasalahan Korupsi merupakan permasalahan yang multidimensional, artinya dampak dari permasalahan ini, akan mempengaruhi seluruh lini kehidupan bernegara.
Banyak hal yang menjadi penyebab tingginya angka korupsi di Indonesia. Salah satu penyebab yang umum diketahui dan menjadi penyebab dominan adalah karena bangsa Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh berperang melawan korupsi. Pandangan pendidikan yang lebih mengutamakan aspek kognitif yang dinilai melalui capaian nilai dalam bentuk angka-angka, diduga menjadi salah satu persoalan mendasar. Dunia pendidikan indonesia tidak bisa memberikan pendidikan moral yang memadai untuk mencegah tindak pidana korupsi yang merugikan banyak pihak ini. Indonesia hanya membangun industri dan pabrik-pabrik yang menghasilkan barang-barang konsumsi, tetapi sangat kurang membangun industri hati untuk mendapatkan manusia dengan kekayaan spiritual guna merawat bangsa.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sudah kasus-kasus korupsi yang dibongkar oleh penegak hukum. Sejak 5 tahun terakhir pula sekitar 500 pejabat publik dari pegawai rendahan hingga pejabat eselon 1, mantan menteri, menteri aktif dan anggota DPR kini berdesakan di dalam bui. Namun demikian sesungguhnya belum menyelesaikan persoalan-persoalan pemberantasan korupsi. Kita masih menyangsikan keseriusan bangsa ini untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Mengapa? Pertama, kesan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi masih sangat terasa.  Kedua, masih saja ada aparat hukum yang terindikasi bahkan tertangkap basah tengah melakukan praktek korupsi.  Ketiga, sangat terasa adanya pelemahan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Betapapun memiliki beberapa kelemahan, lembaga ini terbukti telah menjadi institusi yang ditakuti dan disegani para pelaku korupsi. Rupanya kekuatan lawan risih melihat kinerja KPK, dan terjadilah proses pelemahan; dari penangkapan Ketua KPK, ancaman penangkapan pimpinan KPK lainnya, lambatnya penyusunan Undang-Undang Tipikor, revisi UU KPK, pernyataan minor dari para pimpinan negara, anggota DPR, dan sebagainya.Pendek kata, masih panjang jalan menuju bangsa Indonesia yang bebas korupsi. Masih dibutuhkan kekuatan yang ekstra untuk melawan korupsi di negeri ini.
Oleh sebab itu, peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan hak dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagaimana yang di atur dalam dalam TAP MPR No. No. XI/MPR/1998 tentang  Penyelenggra Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, junto pasal 8 dan 9 Undang Undang RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggra Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN junto pasal 41 Undang Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pelaksanaanya di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Sejalan dengan hal itu Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Pemberantasan  Tindak Pidan Korupsi (GN-PK), yang di deklarasikan pada tanggal 23 Agustus 2004 di Jakarta yang kemudian menjadi motivasi dalam melahirkan pencanangan tahun 2005 sebagai tanda di mulainya GERAKAN NASIONAL PEMBERANTASAN  TINDAK PIDAN KORUPSI  oleh Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Desember 2004 di Istana Negara. Atas alasan tersebut Pimpinan GN-PK Pusat mengamantkan kepada Koordinator Propinsi GN-PK di tiap daerah untuk segera melaksanakan program program kerja yang telah di buat oleh GN-PK Pusat, salah satunya adalah memperbesar dan menekankan porsi program pencegahan melalui berbagai kegiatan agar mampu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat menolak dengan tegas berbagai tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga dapat mempercepat proses pembangunan nasional dan watak bangsa (Nation and character Buliding) Seperti diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 serta pancasila.

0 komentar:

Posting Komentar